Liang Bua, goa besar di Kecamatan Ruteng, Manggarai, Flores, ibarat buku yang mengisahkan tentang pelapisan kebudayaan di masa lalu yang dihancurkan oleh letusan gunung api. Lantai goa ini terdiri dari lapisan tufa atau endapan material vulkanik lembut yang terkonsolidasi. Tufa tersebut berasal dari hasil letusan gunung api, entah dari mana asalnya. Hingga kini, belum ada penelitian yang fokus mengungkap asal tufa tersebut.
Thomas Sutikna dari Puslit Arkenas yakin bahwa Liang Bua bekali-kali tertimbun letusan gunung api. Lapisan paling tebal kebetulan menjadi pembatas antara temuan dunia modern dan dunia purba. Dunia modern di Liang Bua dibatasi usia hingga 10.000 tahun lalu. Sementara dunia purba yang mengindikasikan kehadiran manusia berusia paling tua hingga 95.000 tahun lalu.
Dengan adanya lapisan tufa tebal ini, Thomas menduga manusia purba tak mungkin bertemu dalam satu masa dengan manusia modern. Tebal lapisan tufa 1-2 meter. Di atas tufa itu masih ada lapisan atas yang tebalnya hingga ke permukaan tanah 4-6 meter.
Di lapisan atas, usianya paling tua dibatasi hingga 10.000 tahun. Di lapisan atas ini, ketika digali pertama kali, ditemukan pecahan tembikar dan kapak corong yang terbuat dari perunggu. Lapisan teratas ini diduga berumur 450 tahun yang sudah masuk masa sejarah, tetapi budayanya masih dianggap prasejarah.
Di bawah tembikar yang berusia sekitar 4.000 tahun ditemukan kerangka manusia lengkap dengan bekal kuburnya berupa beliung, periuk, kendi, dan taring babi. Di lapisan ini, tahun 1965, ditemukan enam kerangka manusia oleh Verhoeven. Setelah itu, tahun 1978 juga ditemukan enam kerangka oleh tim Arkenas. Menurut Jatmiko dari Arkenas, dalam penggalian tahun 1998 kembali ditemukan dua kerangka manusia dengan alat kuburnya.
Di bawah kerangka, masih di lapisan atas dalam rentang maksimal 10.000 tahun, kemudian ditemukan banyak tulang babi, rusa, kerbau atau sapi, dan monyet. ”Mereka termasuk fauna modern,” kata Thomas.
Dalam stratigrafi situs Liang Bua yang dibuat tim Arkenas, jelas terlihat bahwa tufa tersebut seperti menutup sebuah zaman yang dihuni oleh manusia purba. Tepat di bawah tufa tebal tersebut, tepatnya enam meter dari permukaan tanah, pada tahun 2003, tim peneliti berhasil menemukan rangka Homo floresiensis.
Homo floresiensis ini diperkirakan tinggal dalam rentang usia 18.000 tahun hingga maksimal 95.000 tahun silam. Di bawah kerangka Homo floresiensis ini kemudian ditemukan banyak tulang gajah purba kerdil yang terkonsentrasi bersama artefak batu. ”Diduga, alat batu tersebut digunakan manusia purba untuk menguliti stegodon,” kata Jatmiko. ”Stegodon yang ditemukan didominasi yang masih kecil atau remaja.”
Dari segi peralatan, kata Jatmiko, manusia purba telah memanfaatkan sumber daya lokal berupa batu untuk berburu dan meramu makanan. Mereka memilih bahan batu itu bukan sembarangan. Mereka sangat cerdik dan hanya memilih batuan yang berkualitas tinggi. ”Contohnya mereka hanya pilih batuan chert dan kalsedon, bukan batuan andesit yang gampang rapuh,” katanya.
Chert jika dipangkas akan memiliki sisi tajam yang seperti silet. Ini fungsinya untuk menguliti binatang seperti stegodon. ”Batuan tajam ini bisa berfungsi sebagai pisau untuk meraut kayu dan bambu,” tutur Jatmiko.
Di lapisan yang usianya diperkirakan 18.000 hingga 38.000 tahun, ditemukan fosil komodo dan kura-kura raksasa.
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar