Sabtu, 08 September 2012

Kura-kura Bercangkang Bundar Eksis 60 Juta Tahun Lalu


Sumber gambar: kompas.com


Fosil kura-kura raksasa yang hidup 60 juta tahun lalu ditemukan di kawasan tambang Cerrejón Coal Mine sumur La Puente di Columbia. Kura-kura tersebut unik karena punya karapas yang berbentuk lingkaran sempurna.

"Cangkang dari kura-kura ini jauh lebih bundar dari kura-kura lainnya," ungkap Carlos Jaramillo dari Smithsonian Tropical Research Institute di Panama yang terlibat dalam penelitian, seperti dikutip situsLivescience, Kamis (12/7/2012).

Nama spesies kura-kura tersebut adalah Puentemys mushaisaensis, sesuai nama sumur tempat penemuannya. Lebar cangkang kura-kura ini sekitar 1,5 meter. Dengan ukuran itu, ular terbesar yang ada saat itu, Titanoboa, bahkan tak mampu memangsa kura-kura ini.

"Cangkan bentuk lingkaran dan kubah rendah meningkatkan area tubuh yang terekspos Matahari, membantu kura-kura yang berdarah dingin menghangatkan suhu tubuh pada temperatur yang memungkinkannya bisa lebih aktif," kata Edwin Cadena dari North Carolina University, pimpinan studi, dalam publikasi di Journal of Palaentology.

Penemuan kura-kura ini menjadi bukti adanya booming reptil tropis pascakepunahan dinosaurus. Faktor lingkungan seperti jumlah predator yang minim, habitat yang besar, perubahan iklim, dan makanan yang melimpah adalah beberapa faktor yang diduga bisa mendukung kura-kura hingga punya ukuran raksasa.

Cerrejón Coal Mine memang terkenal sebagai situs palaentologi menarik. Kawasan ini menjadi tempat penemuan fosil Titanoboa cerrejonensis, buaya jenis Cerrejonisuchus improcerus dan Acherontisuchus guajiraensis, dan kura-kura jenis Carbonemys cofrinii yang berukuran sebesar mobil, sertaCerrejonemys wayuunaiki yang bercangkang tebal.





























































































































































































































































Sumber :
LIVESCIENCE, kompas.com


Jumat, 07 September 2012

MC & Duff's Dimension P.S I Love You Lyric

Mc & Duff Dimension
PS I Love You

There's a lot of rains there's been coming down today
even in my heart I can't keep those tears away
I'm sorry about the thing I've done
And the way I left you alone
Now I know that you're the only one
I ever love with all my heart

Chorus:
When the summer comes we'll be together again
When the sun will shine I'll start a new with you
At night in the stars I read you're waiting there for me
Oh how I think of you and P.S I love you


I still don't know how someone made me lose my mind
In where some sweet words only words that  make me blind
Now I realize the thing I've done and what it mean to be left alone
I still hope this was once in the vain I want to be with you again


Chorus:
When the summer comes we'll be together again
When the sun will shine I'll start a new with you
At night in the stars I read you're waiting there for me
Oh how I think of you and P.S I love you

Chorus:
When the summer comes we'll be together again
When the sun will shine I'll start a new with you
At night in the stars I read you're waiting there for me
Oh how I think of you and P.S I love you

Oh how I think of you and PS I love you



Jika ingin menggandakan lirik lagu ini mohon sertakan link asalnya. terima kasih
If you want to copy the lyrics of this song please include an origin link. Thank you

Kamis, 06 September 2012

Dua Bangunan Candi di Pati Diekskavasi


Sumber gambar: Balai Arkeologi Yogyakarta

Tim Balai Arkeologi Yogyakarta dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berhasil mengekskavasi dua bangunan candi di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa dua candi tersebut berada di satu kompleks percandian. Satu candi merupakan candi induk, sementara candi lain merupakan candi perwara.

"Arsitektur candi sudah berhasil diketahui. Candi induknya berbentuk bujur cangkar dengan ukuran 5,9 x 5,9 meter. Sementara candi perwara berukuran 2,7 x 4,6 meter," ungkap Rita Istari, ketua tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta.

Tim juga berhasil mengetahui arah candi. Untuk candi induk menghadap ke arah barat, sementara candi perwara menghadap ke timur, ke arah candi induk.

Rita yang dihubungi Kompas.com, Rabu (18/7/2012), menuturkan, bagian candi yang masih utuh adalah dasar atau batur candi. Menurut hasil pengukuran, bagian batur candi memiliki tinggi 77 cm. Bagian atap dan tubuh candi sudah runtuh.

"Candi ini diperkirakan berasal dari abad 8-10 Masehi, sezaman dengan Borobudur," ungkap Rita.

Rita mengatakan, untuk memastikan usia candi tersebut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan prasastinya. Prasasti yang ditemukan bisa mengonfirmasi tahun pembangunan candi secara pasti.

Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Siswanto, menuturkan bahwa candi yang ditemukan ialah candi Hindu. Konfirmasi usia candi bisa menggambarkan kondisi saat candi dibangun.

"Kalau candi ini lebih tua dari Prambanan dan Borobudur, berarti dibangun saat upaya penyebaran Hindu ke Indonesia. Kalau lebih muda, berarti dibangun oleh kerajaan di Indonesia," ungkap Siswanto.

Rita mengatakan bahwa candi yang ditemukan langka karena terbuat dari batu bata. Sementara Siswanto menuturkan bahwa penemuan candi ini semakin menambah referensi tentang penyebaran Hindu di wilayah pantai utara Jawa.

Sumber: kompas.com

Rabu, 05 September 2012

Temuan Candi di Pati Langka


Sumber gambar: Balai Arkeologi Yogyakarta

Tim Balai Arkeologi Yogyakarta berhasil mengekskavasi candi di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dua candi yang diekskavasi ialah satu kompleks percandian, satu merupakan candi induk, sementara yang lain adalah candi perwara.

Pihak Balai Arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa temuan candi Hindu ini langka dilihat dari sisi material bangunan dan lokasi penemuannya.

"Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke 8 sampai 10. Material bangunannya terbuat dari batu bata merah," ungkap Rita Istari, ketua tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta saat dihubungiKompas.com, Rabu (18/7/2012).

Rita menjelaskan, bangunan candi dengan material bata merah relatif langka di Jawa Tengah, apalagi pada abad 8-10.

Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Siswanto, mengatakan bahwa selama ini terdapat dikotomi bahwa candi-candi di Jawa Timur banyak yang terbuat dari bata merah dan di Jawa Tengah terbuat dari batu.

"Dengan adanya penemuan ini, maka terbukti bahwa dikotomi itu tidak selalu benar," jelas Siswanto.

Material bangunan dari batu bata juga menunjukkan bahwa candi-candi kuno tak selalu dibangun dengan batu. Masyarakat atau kerajaan bisa saja membangun candi dengan material yang melimpah di sekitarnya.

"Kalau di wilayah dekat Pati, banyak material batu bata merah, jadi itu yang dipakai. Kalau mendatangkan batuan dari pegunungan untuk membuat candi, itu tidak mungkin sebab akan jadi pekerjaan berat," papar Rita.

Dari sisi lokasi, candi di Pati juga termasuk langka. Selama ini, mayoritas candi Hindu terdapat di wilayah yang tinggi karena Hinduisme menghormati gunung. Penemuan candi di dataran rendah relatif sedikit, diantaranya hanya di Tegal.

"Penemuan ini bisa menambah referensi tentang penyebaran Hindu di Indonesia," papar Siswanto.

Usia candi harus dipastikan. Jika candi lebih tua dari Borobudur dan Prambanan, maka candi dibangun saat masa penyebaran, tapi jika lebih muda maka dibangun oleh kerajaan Hindu yang berjaya di Indonesia.

Candi di Desa Kayen sebenarnya telah ditemukan oleh warga pada Mei 2011 lalu. Penemuan candi berawal dari keinginan warga untuk membangun mushola di lokasi candi.

Temuan kemudian dilaporkan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah kemudian ditindaklanjuti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. September tahun lalu, langkah ekskavasi telah dilakukan. Langkah yang sama lalu ditindaklanjuti baru-baru ini.

Hasil ekskavasi terbaru berhasil mengungkap arsitektur candi. Bagian candi induk berbentuk bujur sangkar dengan ukura 5,9 x 5,9 meter dan menghadap ke barat. Candi perwara berukuran 2,7 x 4,6 meter dan menghadap ke timur.

"Saat ini kami juga menemukan bagian yang diduga merupakan pintu masuk candi," kata Rita yang juga menjelaskan bahwa bangunan candi yang utuh hanya bagian dasar atau baturnya.

Sumber: kompas.com


Selasa, 04 September 2012

Jejak Kehidupan Purba di Cekungan Soa


sumber gambar: kompas.com


Sembilan matahari seolah bersinar di atas kepala. Teriknya memanggang Cekungan Soa. Meski musim kering belum mencapai puncak pada Maret, savana telah menguning. Pepohonan hanya merimbun di kanan-kiri Sungai Ae Sisa yang mengalir deras di dasar lembah.

Dari kejauhan, Gunung Ambulombo tinggi menjulang. Dalam naungan langit biru tanpa awan, 150 warga Kecamatan Soa mandi keringat mengorek lapisan tanah bagian atas di lereng-lereng dan dasar lembah dengan cangkul dan sekop. Para arkeolog dan paleontolog memimpin penggalian dengan kuas dan pahat mini. Mereka berpencar di beberapa situs penggalian yang tersebar di Cekungan Soa.

”Tuk, tuk, tuk, tuk…!” Bunyi ketukan palu pada pahat besi meramaikan lembah di kaki tebing curam yang mirip tembok raksasa. Warga setempat menyebut tebing itu sebagai Tangi Talo, artinya tangga yang mustahil didaki.

Setelah berhari-hari terbakar terik matahari, siang itu, dari lubang galian sekitar 1 meter, tulang-belulang menyembul dari kedalaman Bumi. Warna putihnya sudah memudar menjadi coklat kekuningan dan sebagian retak di sana-sini. Tapi, bentuknya masih dikenali.

Gading Stegodon sondaari berukuran sekitar 1,6 sentimeter ditemukan di bagian tengah galian. Di bagian atas terdapat tulang rahang. Sementara tengkorak, tulang belakang, dan rusuknya terserak di bagian bawah.

Tulang-belulang gajah purba itu tercampur dengan tulang pemangsanya, komodo dan buaya. Semua tulang sudah lepas dari sambungan, tidak utuh, mengabarkan pernah terjadinya banjir lumpur pada masa lalu, yang menggulung dan menghanyutkan binatang-binatang ini dari lereng tebing Tangi Talo ke dasar lembah.

Total ada 10 binatang di lubang galian ini, yaitu gajah, komodo, buaya, dan kura-kura. ”Lokasi ini merupakan habitat kehidupan purba yang cukup subur dan ramai,” kata Gerrit Dirk van den Bergh, peneliti paleontologi dari School of Earth and Environmental Sciences, University of Wollongong, Australia. Lelaki ini meneliti fosil binatang di Soa sejak tahun 1993.

”Pada tahun-tahun sebelumnya, kami juga menemukan banyak fosil binatang purba, termasuk tempurung kura-kura raksasa,” kata Erick Setiyabudi, paleontolog dari Pusat Survei Geologi Bandung (PSG). ”Dari ukuran cangkangnya, kura-kura raksasa yang ditemukan di Soa tak kalah dengan yang sekarang masih hidup di Kepulauan Galapagos.”

Kekayaan temuan fosil ini menguatkan cerita ramainya kehidupan di Cekungan Soa saat itu. Kehidupan yang kemudian terenggut tiba-tiba.

"Semua fosil yang ditemukan terlapisi material gunung api,” kata Ruly Setiawan, geolog dari PSG. Kandidat doktor dari Wollongong University ini memfokuskan penelitiannya untuk melacak gunung api yang menghabisi kehidupan di Cekungan Soa. ”Umur lapisan di Cekungan Soa berada dalam rentang 650.000 tahun hingga 1,02 juta tahun lalu. Dalam rentang itulah, gunung api silih berganti meletus dan menciptakan suksesi kehidupan.”

Secara stratigrafi, Cekungan Soa dibagi menjadi dua formasi penting, yaitu Ola Kile sebagai bantalan di lapisan paling bawah serta formasi Ola Bula dan formasi Gero di atasnya. Umur formasi Ola Kile berdasarkan penarikan umur menggunakan metode jejak belah (fission track) batuan adalah 1,86 juta tahun dan umur formasi Ola Bula 880.000 tahun. Adapun formasi Gero sekitar 650.000 tahun.

Fachroel Aziz memastikan bahwa formasi Ola Kile merupakan produk gunung api berupa batuan breksi yang keras. ”Cekungan Soa tadinya berupa cekungan besar, yang kemudian tertutup batuan breksi dari letusan gunung. Batuan breksi susah ditembus air sehingga terbentuklah danau, barulah timbul kehidupan di sekitar danau,” katanya.

Dengan melihat halusnya ukuran batuan gunung api yang melapisi Cekungan Soa, Ruly menduga, sumber letusan itu cukup jauh. Dia memetakan, sedikitnya tiga gunung api yang diperkirakan menjadi penyebab petaka itu. Pertama, gunung api di sisi utara cekungan, yaitu Kaldera Welas, kedua adalah Gunung Kalelambu di sisi timur cekungan, dan ketiga, Gunung Kero di sebelah tenggara Soa.

”Kami masih menunggu hasil penelitian di laboratorium untuk mengetahui kapan ketiga gunung api itu meletus pada masa lalu. Penanggalan usia batuan menggunakan argon-argon memperlihatkan, lapisan vulkanik yang melapisi Soa ini berumur sekitar satu juta tahun,” kata Ruly. ”Jika kita ketemu gunung api yang meletus hebat satu juta tahun lalu, kita bisa tahu sumber bencana di Soa.”

Setelah kehancuran akibat letusan gunung api itu, menurut Ruly, kehidupan yang punah kemudian tergantikan oleh spesies baru. Rerumputan kembali tumbuh subur di cekungan itu. Sungai-sungai kembali mengalirkan air bersih, mengundang kehidupan untuk kembali datang dan bersemi kembali.

Sekitar 880.000 tahun lalu, Cekungan Soa kembali dihuni. Kali ini bukan oleh gajah kerdil, tetapi oleh serombongan gajah besar (Stegodon florensis), tikus besar, dan komodo. Sekelompok manusia purba juga diduga kembali datang.

Namun, petaka kembali terjadi. Sekali lagi, letusan gunung api mengubur kehidupan yang baru bersemi di Cekungan Soa. Banjir lumpur kembali melapisi dan mengawetkan tulang binatang dan alat-alat batu itu.

Lapisan kehidupan tahap kedua inilah yang ditemukan Iwan Kurniawan, palentolog dari PSG, di lembah sempit yang berada di tengah-tengah Cekungan Soa. Situs yang diberi nama Mata Menge ini berada di ketinggian 325 meter di atas permukaan laut, dikepung perbukitan.

Situs Mata Menge, menurut Iwan, sudah diteliti oleh tim PSG bekerja sama dengan University of New England sejak akhir tahun 1990-an. Penggalian sebelumnya telah menemukan fosil Stegodon florensis, komodo, buaya, dan moluska air tawar. Selain itu juga ditemukan sedikitnya 200 alat batu yang umumnya terdiri atas serpih bilah dan batu inti.

Berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Mata Menge, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melakukan penggalian di Kobatuwa. Situs ini berupa lembah yang bagian tengahnya dibelah sungai yang mengering saat kemarau. Nama Kobatuwa diartikan penduduk sebagai tali hutan karena wilayah ini dulu merupakan hutan yang ditumbuhi tanaman belukar dengan akar sangat lebat.

”Di Kobatuwa, kami menemukan beragam artefak batu yang melimpah dan fragmen fosil tulang serta gigi hewan vertebrata yang umumnya jenis hewan stegodon,” kata Jatmiko, arkeolog dari Puslit Arkenas. ”Sebagian temuan didapatkan dalam keadaan masih melekat di lapisan tanah aslinya.”

Pada umumnya, temuan artefak di Kobatuwa didominasi jenis alat-alat serpih bilah. Penelitian melalui analisis jejak belah terhadap endapan tufa putih yang melapisi situs mengungkap, situs ini berusia sekitar 700.000 tahun.

Berbagai temuan alat batu ini semakin menguatkan hipotesis Father Theodor Verhoeven bahwa Cekungan Soa pernah dihuni manusia purba. Pada tahun 1968, pastor berkebangsaan Belanda ini menemukan fosil stegodon dan artefak alat batu di Cekungan Soa. Verhoeven yang pernah belajar arkeologi itu menggali lapisan tanah di beberapa lokasi di Cekungan Soa, yaitu Mata Menge, Boa Lesa, dan Ola Bula.

Verhoeven melaporkan temuannya berupa alat batu dan tulang stegodon di balik lapisan abu gunung api. Karena stegodon hidup di Indonesia sekitar 750.000 tahun lalu, dia mengklaim bahwa alat batu itu juga berasal dari tahun yang sama. Namun, temuan itu tak banyak mendapatkan respons karena tiadanya kepastian umur batuan.

Setelah lama terabaikan, tahun 1991-1992, tim gabungan dari The Netherlands National Museum of Natural History bersama dengan PSG yang waktu itu masih bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) melakukan penggalian di Mata Menge. Tim ini juga melakukan pengujian paleomagnetik untuk mengetahui umur lapisan batuan yang mengubur fosil dan artefak batuan.

Pada tahun 1994, P3G melanjutkan penggalian di Cekungan Soa bekerja sama dengan The University of New England, Australia. Penelitian itu berlangsung hingga saat ini dan telah menemukan 12 situs artefak dan fosil. Tersebar di bagian tengah cekungan, di bagian barat dengan situs Mata Menge, Kobatuwa, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Di bagian utara terdapat kelompok Tangi Talo dan Ola Bula. Di bagian timur-tenggara terdapat kelompok Dhozo Dalu, Sagala, Ngamapa, dan Kopowatu.

Dari semua situs yang digali, ditemukan aneka jenis binatang purba dan alat batu. Namun, penggalian di Cekungan Soa belum menemukan tulang-belulang manusia purba. ”Berdasarkan bentuk alat-alat batu yang ditemukan, kami menduga manusia purba di sini adalah nenek moyang Homo florensiensis di Liang Bua,” kata Mike. ”Tetapi, semua teori ini masih spekulatif, sampai kami bisa menemukan fosil manusia purba di sini,” kata Mike, arkeolog tua ini sambil menghela napas.

Adam Brumm, research fellow pada University of Wollongong, Australia, mengungkapkan, temuan manusia purba di Flores juga bakal mengubah peta migrasi sejarah manusia. ”Kita akan punya bukti bahwa ada migrasi manusia dari timur. Ini menarik dan pasti akan mengejutkan dunia,” katanya.

Senja temaram di Cekungan Soa. Suasana sepi. Warga lokal yang bekerja sebagai penggali sudah pulang ke rumah. Mike baru saja beranjak dari lubang galian di Mata Menge menuju base camp di Desa Mengeruda ketika dia berkata dengan lirih, ”Satu gigi pun cukup. Satu tubuh, tentu akan lebih baik.”


Sumber :
Kompas Cetak, kompas.com



Senin, 03 September 2012

Jejak Makam Raja Richard III Ditemukan di Lapangan Parkir


sumber gambar : potrait gallery, London


Pencarian makam Raja Richard III yang dilakukan sejak lama di Leicester, Inggris, memunculkan petunjuk-petunjuk keberadaan sebuah gereja, tempat raja yang mati karena dibunuh itu dimakamkan.

Arkeolog Universitas Leicester hari Jumat (31/8/2012) mengumumkan bahwa penggalian di lapangan parkir dewan kota berujung pada penemuan dekorasi jendela abad pertengahan, fragmen ubin yang mengilap, dan genteng abad pertengahan. Benda-benda yang berkualitas tinggi itu menjadi indikasi tim telah menggali sisa-sisa Gereja Greyfriars, tempat Richard III dimakamkan.

"Kami telah menemukan Greyfriars dan menyibak petunjuk-petunjuk di mana gereja itu berdiri," kata Richard Buckley, salah satu pimpinan tim arkeologi Universitas Leicester.

Richard III menjadi Raja Inggris tahun 1483-1485. Dia meninggal dalam Pertempuran Bosworth Field selama Perang Mawar (War of the Roses), suatu perang saudara antara House of Lancaster dan House of York. Richard III adalah raja Inggris terakhir yang tewas dalam pertempuran. Shakespeare menulis lakon "Richard III", sebuah drama tentang kehidupan tragis sang raja, sekitar 100 tahun kemudian.

Setelah kematiannya, raja dilucuti dan dibawa ke Leicester, di mana ia dimakamkan di Gereja Biara Fransiskan, yang dikenal sebagai Greyfriars. Lokasi Greyfriars akhirnya hilang dari sejarah.

"Ketertarikan yang terus tumbuh terhadap Richard membuat banyak dongeng berkembang di sekitar makamnya," ujar Philippa Langley, anggota Yayasan Richard III, termasuk adanya cerita yang menyebutkan tulang Richard dibuang ke Sungai Soar. "Cerita lain yang juga diragukan kebenarannya adalah klaim bahwa peti matinya digunakan sebagai palung kuda."

Para arkeolog di Universitas Leicester menduga Richard III dimakamkan di Gereja Greyfriars yang lokasinya saat ini menjadi lapangan parkir. Tim gabungan dari Universitas Leicester, Dewan Kota Leicester, dan Yayasan Richard III mencari makam Richard III sejak 25 Agustus lalu di suatu titik di bawah lahan parkir dewan kota. Tim akan menggunakan radar bawah tanah untuk mencari titik penggalian yang tepat.

Pada minggu pertama pencarian, tim menggali dua parit sepanjang 30 meter dan menemukan apa yang mereka yakini sebagai salah satu lorong Greyfriars dan bagian dinding gereja. Mereka selanjutnya berencana menggali parit yang akan bersinggungan dengan gereja itu sendiri.

Usaha untuk menemukan jasad Richard diakui bukan hal gampang, mengingat penyebutan lokasi Greyfriars sebagai makamnya bukanlah sesuatu yang pasti. Namun, jika ditemukan, jenazah Richard akan dimakamkan kembali secara pantas di Katedral Leicester.

"Pekerjaan arkeologi sejauh ini telah mengungkap banyak tentang area ini daripada apa yang kita ketahui," kata Buckley. "Nantinya, apa pun yang kita temukan, apakah menemukan jenazah Richard atau tidak, pekerjaan ini tetap penting untuk membantu kita menceritakan kisah tentang Leicester."


Sumber :
LiveScience, 
kompas.com


Minggu, 02 September 2012

Gereja Tua Makam Raja Terkubur di Lahan Parkir





Pencarian makam Raja Richard III, raja Inggris yang tewas dalam pertempuran tahun 1485 terus berlanjut. Arkeolog kini berhasil menemukan lokasi gereja tempat raja tersebut dimakamkan.

"Penemuan sejauh ini tak meninggalkan keraguan apapun, bahwa kita telah berada di Biara Fransiskan Leicester, yang berarti bahwa kita telah melampaui rintangan penting pertama dalam investigasi ini," kata Richard Buckley, arkeolog pemimpin studi ini.

Raja Richard III adalah raja yang memerintah inggris tahun 1483 - 1485. Ia meninggal dalam perang saudara yang disebut Perang Mawar. Seratus tahun kemudian, Richard III diabadikan dalam kisah William Shakespare.

Arkeolog meyakini, jasad Richard III dikubur di Gereja Greyfriars. Lokasi gereja itu tak diketahui sepanjang sejarah hingga para arkeolog dari Universitas Leicester menduga bahwa gereja terkubur di bawah lapangan parkir dewan kota.

Sejak 25 Agustus 2012, penggalian dilakukan di lapangan parkir. Minggu lalu, arkeolog menemukan dekorasi jendela abad pertengahan, genteng dari abad pertengahan serta fragmen ubin yang mengilap. Kini, satu lagi bukti bertambah.

"Kami sekarang menemukan bukti adanya lorong arah utara-selatan selebar 6,5 meter dengan lantai ubin. Ini mungkin jalan di salah satu sisi bangunan biara," ungkap Buckley yang merupakan arkeolog Universitas Leicester.

"Tegak lurus dari jalan tersebut adalah sebuah bangunan selebar 5 meter, lagi dengan bukti berupa lantai ubin," sambung Buckley seperti dikutip Livescience Rabu (5/9/2012) kemarin.

Di sebelah utara dari bangunan itu, terdapat ruang terbuka dan juga sebuah bangunan besar dengan tembok setebal 1,5 meter. Menurut dugaan arkeolog, dinding tebal itu adalah dinding selatan gereja. Dinding menyambung dengan dinding lain di utara.

"Ukuran dinding, orientasi bangunan, posisi dan adanya lantai ubin serta fragmen arsitektur lain membuat banguan ini hampir pasti merupakan gereja Greyfriars," kata Buckley.

Arkeolog akan melakukan penggalian lagi untuk mencari altar gereja yang diduga menjadi tempat jasad Richard III dikuburkan. Jika jasad ditemukan, maka katedral tua Leicester akan terkuak kembali. Jika tidak, penemuan ini tetap berarti sebab berhasil menemukan jejak bangunan gereja abad pertengahan yang terpendam.
Sumber :
LIVESCIENCE, kompas.com


Sabtu, 01 September 2012

Suku Maya Memakai Teater untuk Menindas Minoritas





Sebuah panggung teater unik milik suku Maya ditemukan pada situs arkeologi di Plan de Ayutla, di Ocosingo, Chiapas, Meksiko. Keunikan panggung teater ini terletak pada letak dan fungsinya.

Menurut informasi dari National Institute of Anthropology and History (INAH) bangunan yang telah berusia 1.200 tahun ini bukanlah digunakan sebagai tempat pertunjukkan seni dan budaya. Melainkan digunakan oleh kaum elit Maya untuk melegitimasi kekuasaan dan menundukkan kaum minoritas.

Lokasi bangunan ditemukannya pun tak lazim yakni berada di dalam lingkungan istana, ujar Direktur proyek penelitian, Luis Alberto Martos Lopez.

Terletak di Acropolis Utara, panggung teater ini tertutup oleh bangunan di semua sisi yang tertanggal 250-550 SM. Arsitektur yang tidak biasa membuat panggung teater ini hanya mampu menampung 120 orang.

"Ini berbeda dengan semua teater yang pernah diteliti. Biasanya teater dibangun di sebuah plaza untuk menghibur banyak orang," kata Martos López.

Di dekat amphiteater terdapat peluit, ocarinas, dan patung yang menggambarkan dewa suku bangsa Maya. Mereka sebagian besar dihiasi dengan dekorasi dinding di bawah bangunan.

Adegan yang mungkin ditampilkan di pangggung teater yakni seperti upacara penyiksaan terhadap para tahanan secara brutal hingga berakhir dengan pemenggalan. Tema yang selalu diangkat dalam pertunjukkan tak jauh-jauh dari penindasan. Ini merupakan hal yang lumrah sesuai fungsi panggung teater sebagai alat politik untuk menindas kaum minoritas.

Menurut Martos Lopez, sekitar tahun 850 suku Maya menggunakan sistem multepal atau sistem pemerintahan bersama di Plan de Ayutla. Mereka memainkan drama politik di panggung teater untuk memaksakan ideologi kepada kelompok minoritas lokal. 


Sumber :
National Geographic Indonesia, kompas.com








Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...